KASUS
PIDANA PENGANIAYAAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia
adalah negara yang berdasarkan hukum, tidak berdasarkan
kekuasaan
belaka. Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang
berlaku
juga berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegakkan demi terciptanya tujuan dan
cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang diamatkan pada Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-empat yaitu membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Indonesia sebagai
negara yang sedang berkembang tentunya tidak terlepas dari pengaruh
perkembangan jaman yang sudah mendunia. Dimana perkembangan yang terjadi sudah
mulai merambah banyak aspek kehidupan. Perkembangan jaman sekarang ini tidak
hanya membawa pengaruh besar pada Negara Indonesia melainkan juga berdampak
pada perkembangan masyarakat, perilaku, maupun pergeseran budaya dalam
masyarakat. Terlebih lagi setelah masa reformasi kondisi ekonomi bangsa ini
yang semakin terpuruk. Tidak hanya mengalami krisis ekonomi saja namun juga
berdampak pada krisis moral. Terjadinya peningkatan kepadatan penduduk, jumlah
pengangguran yang semakin bertambah, didukung dengan angka kemiskinan yang
tinggi mengakibatkan seseorang dapat berbuat kejahatan. Karena desakan ekonomi,
banyak orang yang mengambil jalan pintas dengan menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan uang. Masalah ini menyebabkan semakin tingginya angka kriminalitas
terutama di daerah urban yang padat penduduk.
Pengertian Hukum pidana ada bermacam
macam menurut ahli tapi disini kami hanya memakai pendapat seorang ahli bernama
Moeljatno : menurut moeljatno bahwa: Hukum pidana adalah bagian dari pada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau
sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut;
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan
pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Hukum
pidana termasuk pada ranah hukum publik. Hukum pidana adalah hukum yang
mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan - perbuatan yang
diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang - undangan dan berakibat
diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya.
Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran.
Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan peraturan
perundang - undangan tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama
dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan
sanksi berupa pemidanaan, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan
sebagainya. Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan
perundangan namun tidak memberikan efek yang tidak berpengaruh secara langsung
kepada orang lain, seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk
pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya. Di Indonesia, hukum pidana diatur
secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan
peninggalan dari zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Wetboek van
Straafrecht (WvS). KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan
hukum pidana di Indonesia dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi
semua ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Tindak pidana penganiyayaan
Dalam
kasus tindak pidana penganiyayaan dapat di bagi menjadi 2 yaitu:
(Penganiayaan Biasa Dan Penganiayaan
Ringan) –misalnya Peristiwa Penganiayaan dengan korban Cici Paramida yang
dilakukan oleh suaminya dan juga salah satu anggota DPR RI dari partai demokrat
yang kepalanya dilempar buku oleh George Adicondro dalam sebuah diskusi.
Atas dua peristiwa tersebut jika kita merujuk pada KUHP setidaknya peristiwa tersebut masuk dalam unsur-unsur penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (1) (Penganiayaan biasa) Jo. 352 ayat (1) KUHP (penganiayaan Ringan).
Dalam beberapa perkara pidana penganiayaan memang tidak mudah untuk menentukan apakah sebuah penganiayaan masuk dalam kategori Penganiayaan Biasa dengan Penganiaayaan Ringan. Hal ini nampaknya perlu kita kaji lebih dalam, menginggat dalam beberapa perkara terkadang Penyidik (Kepolisian) tidak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh korban. Khususnya berkaitan dengan ditahan atau tidaknya seorang pelaku Penganiayaan, mengingat jika si pelaku dikenakan pasal 351 (1) KUHP maka hal tersebut masuk dalam unsur penganiayaan biasa dimana pelaku harus ditahan, jika pelaku dikenakan pasal 352 (1) KUHP maka hal tersebut masuk dalam unsure penganiayaan ringan sehingga pelaku tidak bisa ditahan. (Lihat ketetuan pasal 21 Ayat (4) KUHAP).
Atas dua peristiwa tersebut jika kita merujuk pada KUHP setidaknya peristiwa tersebut masuk dalam unsur-unsur penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (1) (Penganiayaan biasa) Jo. 352 ayat (1) KUHP (penganiayaan Ringan).
Dalam beberapa perkara pidana penganiayaan memang tidak mudah untuk menentukan apakah sebuah penganiayaan masuk dalam kategori Penganiayaan Biasa dengan Penganiaayaan Ringan. Hal ini nampaknya perlu kita kaji lebih dalam, menginggat dalam beberapa perkara terkadang Penyidik (Kepolisian) tidak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh korban. Khususnya berkaitan dengan ditahan atau tidaknya seorang pelaku Penganiayaan, mengingat jika si pelaku dikenakan pasal 351 (1) KUHP maka hal tersebut masuk dalam unsur penganiayaan biasa dimana pelaku harus ditahan, jika pelaku dikenakan pasal 352 (1) KUHP maka hal tersebut masuk dalam unsure penganiayaan ringan sehingga pelaku tidak bisa ditahan. (Lihat ketetuan pasal 21 Ayat (4) KUHAP).
Contoh: :
Pada tanggal 7 Maret 2010, pukul 03.30 WIB ada seseorang perempuan dianiaya oleh mantan suaminya, akibat penganiayaan tersebut si korban mengalami luka dan rasa sakit pada bagian bibir dan mulutnya. Bahwa setelah peristiwa tersebut terjadi Korban pada waktu yang sama melaporkannya kepada pihak kepolisian. Setelah sampai dan melaporkan peristiwa tersebut Si Korban di mintai keterangan (BAP) tentang bagaimana peristiwa tersebut terjadi dan siapa pelakunya, hingga pada akhirnya munculah pertanyaan terakhir dari penyidik , dan si Korban ditanya oleh Penyidik : Apakah setelah peristiwa penganiayaan tersebut terjadi Saksi Korban masih bisa bekerja ? Jawab Korban “ Iya, saya masih bisa bekerja dengan baik. Bahwa dengan alasan si korban masih bisa bekerja dengan baik, akhirnya Penyidik berkesimpulan bahwa Pelaku dikenakan pasal 352 ayat (2) KUHP yakni penganiayaan ringan walaupun jika kita lihat secara kasat mata demikian rupa parahnya luka tersebut. Akibat dari penggunaan pasal tersebut akhirnya Pelaku tidak ditahan.
Bahwa selanjutnya setelah proses Pelaporan dan pemeriksaan selesai, ternyata keesokan harinya akibat dari pemukulan tersebut Korban merasakan sakit nyeri yang luar biasa pada bagian mulutnya, sehingga menyebabkan si Korban tidak bisa berfikir dan berkonsentrasi, dan pada hari selanjutnya tanggal 8 Maret 2010 korban tidak bisa masuk kerja. Bahwa selanjutnya Korban kembali mendatangi Penyidik dan meminta supaya pelaku ditahan, mengingat rasa sakit yang dialami oleh Korban luar biasa sakitnya, khususnya dibagian mulut. Atas pernmintaan tersebut Penyidik menolak untuk melakukan penahanan dengan alasan si korban bukan lah penyanyi , sehingga walaupun mulutnya sakit dianggap masih bisa melakukan aktifitas. Namun sebaliknya jikapun luka kecil dijari seorang pemain biola yang hal tersebut menyebabkan si pemain biola tidak bisa bermain biola maka kejahatan tersebut adalan penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (1) KUHP dan sipelaku bisa ditahan.
Bahwa pandangan tersebut sangatlah konservatif, diskirminatif dan sangat jauh dari rasa keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, mengingat konstruksi hukum yang dibangun oleh penyidik terlalu simplikatif dalam mengartikan sakit yang dapat mengahalangi seseorang untuk bekerja. Bagaimana jika si Korban adalan seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja / pengangguran, ketika dirinya teraniaya dan menimbulkan luka dijarinya sehingga akibat luka dijarinya dia tidak bisa memotong bawang atau cabai apakah sipelaku bisa dikenakan pasal 351 ayat (1) KUHP dan ditahan. Pertanyaan ini sangat penting untuk kita ajukan, mengingat terkadang penyidik sering kali bermain-main dan melakukan jual beli pasal dalam sebuah perkara, dimana kepada korban dia mengatakan pasal yang dikenakan adalah pasal 352 sehingga pelaku tidak ditahan, sedangkan pada pelaku selalu diancam akan dikenakan pasal 351 ayat (1) KUHP sehingga harus ditahan. Hasilnya tentu saja si pelaku akan mengeluarkan uang bagaimana caranya supaya sipelaku tidak ditahan, sedangkan tanggung jawab Penydidik kepada Korban tidak perlu susah-susah mengingat dari awal penyidik sudah mengelabui korban dengan penggunaan pasal 352 ayat (2) KUHP dimana Pelaku tidak bisa ditahan.
Bahwa jika kita melihat akibat dari pemukulan tersebut tenyata sikorban mengalami sakit nyeri dan tidak bisa bekerja dengan baik, maka secara otomatis unsur-unsur penganiayaan ringan tidak bisa lagi dipertahankan oleh Penyidik dalam perkara tersebut, melainkan masuk dalam peristiwa penganiayaan biasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (1) KUHP, sehingga sudah seharusnya pelaku penganiayaan tersebut ditahan.
Jalan terbaik atas perkara tersebut adalah Korban dapat meminta BAP tambahan yang mana hal tersebut dibenarkan menurut KUHAP. Dalam BAP tambahan Korban bisa kembali menerangkan bahwa selang beberapa hari ternyata luka yang dialami telah mengakibatkan sakit yang luar biasa sehingga Korban tidak bisa bekerja dan harus meliburkan dirinya 2 hari untuk beristirahat.
Jika Pihak penyidik menolak untuk BAP tambahan, maka jalan terbaik adalah mencabut berkas laporan dan memindahkannya ke tingkat yang lebih tinggi lagi dengan alasan penyidik ditempat laporan semula tidak professional. Dalam hal ini, jika pelaporan dilakukan di Polsek maka si pelapor bisa memindahkan laporannya ke Polres,dan kejenjang yang lebih tinggi yaitu Polda dan Mabes Polri, mengingat menurut KUHAP hal tersebut dibenarkan.
Pada tanggal 7 Maret 2010, pukul 03.30 WIB ada seseorang perempuan dianiaya oleh mantan suaminya, akibat penganiayaan tersebut si korban mengalami luka dan rasa sakit pada bagian bibir dan mulutnya. Bahwa setelah peristiwa tersebut terjadi Korban pada waktu yang sama melaporkannya kepada pihak kepolisian. Setelah sampai dan melaporkan peristiwa tersebut Si Korban di mintai keterangan (BAP) tentang bagaimana peristiwa tersebut terjadi dan siapa pelakunya, hingga pada akhirnya munculah pertanyaan terakhir dari penyidik , dan si Korban ditanya oleh Penyidik : Apakah setelah peristiwa penganiayaan tersebut terjadi Saksi Korban masih bisa bekerja ? Jawab Korban “ Iya, saya masih bisa bekerja dengan baik. Bahwa dengan alasan si korban masih bisa bekerja dengan baik, akhirnya Penyidik berkesimpulan bahwa Pelaku dikenakan pasal 352 ayat (2) KUHP yakni penganiayaan ringan walaupun jika kita lihat secara kasat mata demikian rupa parahnya luka tersebut. Akibat dari penggunaan pasal tersebut akhirnya Pelaku tidak ditahan.
Bahwa selanjutnya setelah proses Pelaporan dan pemeriksaan selesai, ternyata keesokan harinya akibat dari pemukulan tersebut Korban merasakan sakit nyeri yang luar biasa pada bagian mulutnya, sehingga menyebabkan si Korban tidak bisa berfikir dan berkonsentrasi, dan pada hari selanjutnya tanggal 8 Maret 2010 korban tidak bisa masuk kerja. Bahwa selanjutnya Korban kembali mendatangi Penyidik dan meminta supaya pelaku ditahan, mengingat rasa sakit yang dialami oleh Korban luar biasa sakitnya, khususnya dibagian mulut. Atas pernmintaan tersebut Penyidik menolak untuk melakukan penahanan dengan alasan si korban bukan lah penyanyi , sehingga walaupun mulutnya sakit dianggap masih bisa melakukan aktifitas. Namun sebaliknya jikapun luka kecil dijari seorang pemain biola yang hal tersebut menyebabkan si pemain biola tidak bisa bermain biola maka kejahatan tersebut adalan penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (1) KUHP dan sipelaku bisa ditahan.
Bahwa pandangan tersebut sangatlah konservatif, diskirminatif dan sangat jauh dari rasa keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, mengingat konstruksi hukum yang dibangun oleh penyidik terlalu simplikatif dalam mengartikan sakit yang dapat mengahalangi seseorang untuk bekerja. Bagaimana jika si Korban adalan seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja / pengangguran, ketika dirinya teraniaya dan menimbulkan luka dijarinya sehingga akibat luka dijarinya dia tidak bisa memotong bawang atau cabai apakah sipelaku bisa dikenakan pasal 351 ayat (1) KUHP dan ditahan. Pertanyaan ini sangat penting untuk kita ajukan, mengingat terkadang penyidik sering kali bermain-main dan melakukan jual beli pasal dalam sebuah perkara, dimana kepada korban dia mengatakan pasal yang dikenakan adalah pasal 352 sehingga pelaku tidak ditahan, sedangkan pada pelaku selalu diancam akan dikenakan pasal 351 ayat (1) KUHP sehingga harus ditahan. Hasilnya tentu saja si pelaku akan mengeluarkan uang bagaimana caranya supaya sipelaku tidak ditahan, sedangkan tanggung jawab Penydidik kepada Korban tidak perlu susah-susah mengingat dari awal penyidik sudah mengelabui korban dengan penggunaan pasal 352 ayat (2) KUHP dimana Pelaku tidak bisa ditahan.
Bahwa jika kita melihat akibat dari pemukulan tersebut tenyata sikorban mengalami sakit nyeri dan tidak bisa bekerja dengan baik, maka secara otomatis unsur-unsur penganiayaan ringan tidak bisa lagi dipertahankan oleh Penyidik dalam perkara tersebut, melainkan masuk dalam peristiwa penganiayaan biasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (1) KUHP, sehingga sudah seharusnya pelaku penganiayaan tersebut ditahan.
Jalan terbaik atas perkara tersebut adalah Korban dapat meminta BAP tambahan yang mana hal tersebut dibenarkan menurut KUHAP. Dalam BAP tambahan Korban bisa kembali menerangkan bahwa selang beberapa hari ternyata luka yang dialami telah mengakibatkan sakit yang luar biasa sehingga Korban tidak bisa bekerja dan harus meliburkan dirinya 2 hari untuk beristirahat.
Jika Pihak penyidik menolak untuk BAP tambahan, maka jalan terbaik adalah mencabut berkas laporan dan memindahkannya ke tingkat yang lebih tinggi lagi dengan alasan penyidik ditempat laporan semula tidak professional. Dalam hal ini, jika pelaporan dilakukan di Polsek maka si pelapor bisa memindahkan laporannya ke Polres,dan kejenjang yang lebih tinggi yaitu Polda dan Mabes Polri, mengingat menurut KUHAP hal tersebut dibenarkan.
B. PROSES HUKUM KASUS PIDANA PENGANIAYAAN
1.
PELAPORAN
Proses pertama bisa diawali dengan
laporan atau pengaduan ke kepolisian.
Siapa yang bisa melapor ?
a. Korban (Terutama untuk delik aduan)
b. Saksi
c. Siapa saja yang mengetahui bahwa
ada tindak kejahatan
2. PENYIDIKAN
Setelah menerima laporan, Polisi
melakukan penyidikan. Penyidikan
adalah: serangkaian tindakan penyidik
untuk mencari serta
mengumpulkan bukti untuk membuat jelas
tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya. Dalam
penyidikan, diperlukan kerjasama dari anggota masyarakat yang
diminta sebagai saksi. Seringkali
karena tidak terbiasa berhubungan
dengan aparat penegak hukum, warga
yang diminta menjadi saksi
memerlukan pendampingan dari paralegal
selama proses penyidikan
berlangsung.
3. PENUNTUTAN
Penuntutan adalah tindakan penuntut
umum untuk melimpahkan perkara
ke pengadilan negeri yang berwenang.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan
meminta Hakim Pengadilan Negeri untuk
memeriksa dan memutuskan
perkara.
Lalu Jaksa akan membaca dengan tekun
dan teliti
untuk merumuskan dokumen tuntutan
untuk di
limpahkan ke Pengadilan Negeri yang
berwenang.
4. PERSIDANGAN
Mengadili adalah serangkaian tindakan
hakim untuk menerima,
memeriksa dan memutus perkara pidana
berdasarkan asas bebas, jujur
dan tidak memihak. Hakim mengadili
kasus di depan sidang pengadilan.
Dalam persidangan diperlukan
pemantauan dari warga bersama paralegal
baik bila warga masyarakat menjadi
korban maupun bila dituduh sebagai
tersangka.
5. EKSEKUSI PUTUSAN
PENGADILAN
Bila semua pihak setuju dengan putusan
pengadilan, maka putusan akan
memiliki kekuatan hukum tetap, dan
disusul dengan pelaksanaan
eksekusi.
Eksekusi adalah pelaksanaan putusan
pengadilan yang sudah memiliki
kekuatan hukum tetap. Eksekusi akan
dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum.
Tapi bila salah satu pihak keberatan
dengan putusan tingkat pertama,
maka bisa mengajukan banding.
Untuk meminta banding/kasasi,
diperlukan dasar hukum dan alasan yang
kuat. Untuk itu sebaiknya minta
nasihat dari pengacara bila ingin
mengajukan banding atau kasasi.
Semua putusan hakim wajib ditulis dan
bisa diakses
oleh para pihak dan masyarakat umum
Upaya Hukum Setelah
Keluar Putusan Pengadilan Negeri:
Banding
Banding ke Pengadilan Tinggi (di
tingkat Propinsi): bila jaksa atau terdakwa atau
kedua-duanya keberatan dengan putusan
majelis hakim di pengadilan negeri,
maka mereka bisa mengajukan banding
atas putusan tersebut ke pengadilan
tinggi.
Kasasi
Kasasi: bila jaksa atau terdakwa atau
kedua-duanya tetap keberatan dengan
putusan Pengadilan Tinggi, maka bisa
dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung
(di tingkat Nasional)
PN/PT (PUTUSAN)
PT/MA
PUTUSAN
C. YANG HARUS DIPERHATIKAN BILA KITA MENJADI TERSANGKA
SEBUAH TINDAK PIDANA BILA TERJADI PENANGKAPAN:
A. Pertama, periksa prosedur penangkapan,
tanyakan apa kesalahan yang
dituduhkan. Tanyakan surat perintah
penangkapan, dan bacalah surat itu
dengan teliti. Surat penangkapan
dikeluarkan oleh kantor polisi atau jaksa
untuk kasus pidana khusus.
B. Hubungi pengacara/lembaga bantuan
hukum. Sekalipun kita memang
melakukan apa yang dituduhkan, kita tetap
berhak atas
bantuan/pendampingan hukum. (daftar
LBH/pengacara masyarakat bisa dilihat di kantor LBH atau posko bantuan hukum
terdekat).
C. Proses pemeriksaan: kita boleh
menolak memberi kesaksian selama proses
pemeriksaan bila belum didampingi oleh
pengacara hukum.
Surat Perintah Penangkapan, minimal isinya
memuat:
1. Identitas lengkap si tersangka
2. Pelanggaran pasal/peraturan yang
disangkakan
D. Lamanya masa penahanan untuk
penyidikan dan persidangan
Penyidikan/Kepolisian 20 hari dapat
ditambah 40 hari
Penuntut Umum/Jaksa 20 hari dapat ditambah
40 hari lagi
Persidangan tingkat pertama 30 hari dapat
ditambah 60 hari lagi
Persidangan tingkat banding 30 hari dapat
ditambah 60 hari lagi
Persidangan tingkat kasasi 50 hari dapat
ditambah 60 hari lagi
Hak tersangka:
• Persidangan yang adil
• Didampingi oleh
penasehat hukum
• Memperoleh berkas
perkara dalam setiap tingkat pemeriksaan
• Tidak mengalami
kekerasan atau tekanan.
Bagaimana Bila Anda
Mengalami Kekerasan Fisik Selama Proses Penyidikan
Segera Hubungi Keluarga Atau
Pengacara Untuk Minta Visum Dokter
Kalau Masa Penahanan Yang
Benar Tidak Dipatuhi
Apa yang bisa dilakukan oleh korban atau
keluarga dan teman korban?Yang bisa dilakukan adalah mengajukan gugatan praperadilan...
Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tersangka ditahan. Yang jadi tergugat
adalah Polisi tempat ia ditahan
Asas Praduga Tidak
Bersalah Selama Proses Pidana Berlangsung, Seseorang Dianggap Tidak Bersalah Sampai
Pengadilan Dapat Membuktikan Sebaliknya
Definisi:
SAKSI:
Orang yang dianggap mengetahui
terjadinya tindak pidana atau kasus perdata. Dia diminta oleh polisi untuk
menceritakan apa yang dia ketahui tentang kasus tersebut.
TERSANGKA:
Orang yang diduga melakukan tindakk
pidana namun sesuai asas praduga tak bersalah, sebelum ada keputusan pengadilan
maka dia belum dianggap bersalah.
TERDAKWA:
Tersangka disebut terdakwa pada saat
dia mulai disidangkan dipengadilan.
TERPIDANA:
Setelah ada putusan pengadilan maka
terdakwa menjadi terpidana, terpidana adalah orang yang telah dinyatakan
bersalah dan menjalani hukuman.
Apa Yang Perlu
Dilakukan Jika Kita Adalah Korban Tindak Kejahatan ?
A. Melaporkan: bisa
dilakukan oleh anda sendiri atau orang yang anda percayai (paralegal/pengacara/LBH/Kepala
Desa dan lain-lain). Lapor kepada Kepolisian setempat. Untuk pidana korupsi,
anda bisa laporkan langsung ke Kantor Kejaksaan Negeri setempat.
B. Memantau
perkembangan kasus yang sudah anda laporkan. Bagaimana bila
terjadi kemandegan dalam penanganan sebuah
kasus ?
Datangi kantor aparat hukum untuk menanyakan
perkembangan kasus dan catat keterangan yang diberikan. Beritahukan kepada
paralegal, bila kita menganggap proses hukum berjalan tidak transparan.
C. Melakukan tindakan
tekanan penyelesaian kasus; bekerja sama dengan LSM
advokasi, pengacara masyarakat atau
rekan-rekan media massa untuk bersama-sama melakukan pemantauan dan
penyebarluasan hasil pemantauan tersebut ke media massa atau cara penyebaran
informasi yang lain.
D. RUMUSAN MASALAH
1. Dalam beberapa perkara pidana
penganiayaan memang tidak mudah untuk menentukan apakah sebuah penganiayaan
masuk dalam kategori Penganiayaan Biasa dan Penganiaayaan Ringan.
2. Terkadang penyidik sering kali
bermain-main dan melakukan jual beli pasal dalam sebuah perkara pidana,
E. TUJUAN
1.
Agar kita dapat memahami sebuah proses hukum
dalam kasus pidana penganiyayaan tersebut diatas.
2. Untuk
para penyidik agar tidak bermain main atau jual beli pasal dalam menangani
sebuah perkara pidana (tidak memihak pada siapa pun).
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
kasus pidana penganiayaan tersebut diatas maka disimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa pandangan tersebut sangatlah konservatif,
diskirminatif dan sangat jauh dari rasa keadilan dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia, mengingat konstruksi hukum yang dibangun oleh penyidik terlalu simplikatif
dalam mengartikan sakit yang dapat mengahalangi seseorang untuk bekerja.
Bagaimana jika si Korban adalan seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja /
pengangguran, ketika dirinya teraniaya dan menimbulkan luka dijarinya sehingga
akibat luka dijarinya dia tidak bisa memotong bawang atau cabai apakah sipelaku
bisa dikenakan pasal 351 ayat (1) KUHP dan ditahan.
2.
Dalam beberapa perkara pidana
penganiayaan memang tidak mudah untuk menentukan apakah sebuah penganiayaan
masuk dalam kategori Penganiayaan Biasa dengan Penganiaayaan Ringan. Hal ini
nampaknya perlu kita kaji lebih dalam, menginggat dalam beberapa perkara
terkadang Penyidik (Kepolisian) tidak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh
korban. Khususnya berkaitan dengan ditahan atau tidaknya seorang pelaku
Penganiayaan, mengingat jika si pelaku dikenakan pasal 351 (1) KUHP maka hal
tersebut masuk dalam unsur penganiayaan biasa dimana pelaku harus ditahan, jika
pelaku dikenakan pasal 352 (1) KUHP maka hal tersebut masuk dalam unsure
penganiayaan ringan sehingga pelaku tidak bisa ditahan. (Lihat ketetuan pasal
21 Ayat (4) KUHAP).
B. SARAN
Dari hasil pembahasan diatas dapat dilakukan
beberapa cara untuk mencegah terjadinya kesalahan kesalahan dalam penerapan
pasal agar tidak merugikan pihak pihak yang terkait dalam masalah pidana
tersebut yaitu:
1.
Penyidik
harus lebih teliti dalam menyelidiki/mengintrogasi korban/tersangka dalam kasus
pidana tersebut (penganiayaan) sehingga tidak ada pihak yang dirugikan atau di
untungkan.
2.
Bagi pihak korban/tersangka harus
jujur dalam memberikan keterangan agar tidak membingungkan para penyidik dalam
memproses suatu kasus (pidana)
Demikian
makalah ini di buat agar dapat di pelajari lebih lanjut, mohon maaf apabila ada
kesalahan dalam penulisan makalah ini.
Sekian
dan atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusterima kasih informasinya. ada pencerahan buat kami
BalasHapusDaftar pustaka mana oik
BalasHapus